Hijrahcom - Alkisah, pada zaman dahulu kala, di daerah Maluku Utara, ada seorang pemuda tampan bernama Jafar Sidik. Tak seorang pun warga negara yang tahu asal-usul keluarga. Ia tinggal sendirian di sebuah rumah kecil di Desa Salero Ternate. Untuk memenuhi kebutuhan yang terlewati, Jafar Sidik mencari kayu bakar di hutan dan menjualnya ke pasar. Di tengah hutan tempat ia biasanya mencari kayu bakar ada telaga yang berair jernih, sejuk, dan dibahas oleh pepohonan yang rindang. Setiap orang yang berada di tempat itu akan merasa nyaman dan tenteram. Itulah mengapa telaga itu disebut dengan Telaga Air Sentosa.
Saat sakit, sepulang mencari kayu bakar, Jafar Sidik duduk-duduk di tepi telaga itu untuk melepaskan lelah. Sore itu, cuaca tampak cerah. Ia duduk di atas batu besar sambil merendam dalam telaga udara. Pemandangannya menerawang ke langit yang berwarna jingga. Pada saat berfikir, tiba-tiba pandangannya tertuju pada setitik cahaya berwarna-warni. Semakin lama cahaya semakin memanjang dan semakin jelas, kemudian berakhir di Telaga Air Sentosa.
“Sungguh aneh! Tak ada gerimis, tak ada hujan, tapi ada pelangi, ”gumam Jafar Sidik.
Baru selesai bergumam, tiba-tiba Jafar Sidik melihat di atas ujung lengkungan pelang itu muncul tujuh wanita cantik dengan pakaian warna-warni sesuai dengan warna pelangi. Ada yang berbusana warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Ketujuh wanita yang ditinggal bidadari dari Kahyangan itu kemudian terbang ke tepi telaga. Jafar Sidik pun segera bersembunyi di balik pohon besar sambil mengikuti-tanduk mereka. Rupanya, ketujuh bidadari cantik itu layaknya mandi di telaga itu. Mereka membuka selendangnya dan meletakkannya di atas bebatuan, kemudian mereka masuk ke dalam telaga. Dengan riangnya mereka mandi dan bermain-main air diselingi dengan canda tawa.
Jafar Sidik terus mengingat ketujuh bidadari dari balik pepohonan. Sangat terpesona melihat kecantikan mereka. Di antara ketujuh bidadari tersebut, bidadari yang berbaju ungulah yang paling cantik. Dia adalah adik yang paling bungsu.
“Cantik sekali bidadari yang dibuang ungu itu,” gumam Jafar Sidik dengan kagum.
Jafar Sidik pun langsung jatuh hati dan berniat untuk memperistrinya. Namun, ia bingung karena bidadari pasti akan terbang kembali ke Kahyangan. Setelah berpikir sejenak, Jafar Sidik menemukan cara. Pada saat ketujuh bidadari itu tengah asyik bersendau gurau, ia melangkah perlahan-lahan sambil berjingkat-jingkat menuju tempat pakaian para bidadari yang disebutkan sebelumnya. Dengan cepat, ia mengambil selendang yang berwarna ungu. Setelah itu, ia segera kembali bersembunyi di balik pohon besar dan membalikkan selendang tersebut di balik bajunya. Hari pun semakin sakit. Tibalah sebelum para bidadari ini kembali ke negerinya di Kahyangan.
“Adik-adik, hari sudah tiba malam. Ayo kita segera pulang sebelum pelangi itu menghilang! ”Ajak bidadari berbaju merah, kakak yang menang.
Keenam adiknya pun menurut. Mereka segera naik ke darat dan memakai selendang masing-masing. Namun, bidadari yang bungsu masih bingung, karena selendangnya hilang.
“Ayo cepat, Bungsu! Pelangi sudah hampir menghilang! ”Seru bidadari berbaju hijau.
“Tunggu sebentar, Kak! Selendangku tidak ada. Dahulu, tadi aku berada di atas bebatuan ini bersama dengan selendang Kakak, ”kata bidadari yang berbaju ungu tiba-tiba.
Bidadari bungsu pun segera mencari selendangnya dan dibantu oleh keenam kakaknya. Mereka sudah mencarinya ke mana-mana, belum diterima. Karena harus pulang si Bungsu seorang diri, keenam bidadari lainnya memutuskan untuk segera pulang, karena pelangi sudah mulai memudar.
“Maafkan kami, Adikku! Kami mengundang meninggalkanmu seorang diri di sini. Jaga dirimu baik-baik! ”Ujar bidadari yang sulung.
“Jangan biarkan aku, Kak!” Teriak si Bungsu sambil meratap.
Namun, keenam kakaknya sudah terbang meninggalkannya. Tak lama kemudian mereka pun dihapus sekaligus dengan pelangi itu. Bidadari bungsu pun bersedu-sedu meratapi nasibnya.
"Ayah ... Ibu ..., kenapa nasibku begini?
Jafar Sidik Cinta terima kasih melihat bidadari bungsu itu. Ia pun segera menghampirinya.
“Hai, Bidadari cantik! Siapa namamu? Kenapa kamu menangis dan bisa berada di tempat ini seorang diri? ”Tanya Jafar Sidik pura-pura tidak tahu apa yang terjadi pada bidadari bungsu itu.
“Nama hamba Putri Boki Nurfaesyah, Tuan! Hamba tidak bisa dikembalikan lagi ke Kahyangan karena selendang hamba hilang entah ke mana. Apakah Tuan dilihat? ”Tanya Putri Boki Nurfaesyah.
Jafar Sidik tidak memberitahunya jika dialah yang telah mengambil selendang bidadari itu. Karena hari sudah hampir malam, Jafar Sidik mengundang Putri Boki Nurfaesyah ke rumah. Putri Boki Nurfaesyah pun menerima ajakan itu. Saat tengah malam, kompilasi Putri Boki Nurfaesyah tertidur pulas, Jafar Sidik Seledang berwarna ungu itu di bubungan pondok.
Sejak tinggal bersama Putri Boki Nurfaesyah, ingin Jafar Sidik untuk menikahi putri itu semakin kuat. Pada suatu hari, ia pun menyampaikan niatnya kepada Putri Boki Nurfaesyah.
“Wahai, Putri Boki! Kebetulan aku belum berkeluarga dan tidak punya sanak saudara di sini. Maukah dibawa menjadi pendamping hidupku? ”Ungkap Jafar Sidik.
Putri Boki Nurfaesyah hanya terdiam. Ia bingung untuk menjawab pertanyaan itu. Sebenarnya ia ingin sekali lagi ke negerinya untuk berkumpul bersama. Namun, di sisi lain, ia tidak bisa kembali ke negerinya, karena selendangnya hilang. Akhirnya, ia pun menerima lamaran Jafar Sidik.
“Boleh, hamba bersedia menerima lamaran Tuan, tetapi Tuan harus memenuhi satu syarat,” jawab Putri Boki Nurfaesyah.
“Apakah syaratmu itu, Putri Boki?” Tanya Jafar Sidik penasaran.
“Tuan harus meminta tidak akan mencegah pulang hamba pulang ke Kahyangan sebelum pulang hamba,” jawab Putri Boki Nurfaesyah.
Jafar Sidik pun menerima persyaratan itu, karena ia berpikir bidadari bungsu itu tidak akan bisa menemukan selendangnya. Akhirnya, mereka pun menikah. Pasangan Pengantin baru itu hidup bahagia, tenteram, dan damai. Jafar Sidik pun semakin tekun dan rajin bekerja. Kini, ia tidak hanya mencari kayu bakar, tetapi juga menanam sayur-sayuran di ladang. Pagi-pagi sekali ia sudah pulang ke ladang dan baru kembali ke rumah saat hari mulai petang.
Beberapa tahun kemudian, Jafar Sidik dan Putri Boki Nurfaesyah telah dikaruniai empat orang anak laki-laki yang masih kecil. Semakin lengkaplah kebahagiaan Jafar Sidik. Ia pun mendidik anak-anak agar bisa memegang dan menjalankan agama Islam. Ia juga meminta kepada mereka agar hidup saling menyayangi, tolong-menolong, dan rukun antara sesama saudara. Ia mengharapkan empat hari kelak menjadi orang yang bertanggung jawab.
Kehadiran keempat anak ini membuat Jafar Putri Boki Nurfaesyah pun selamat menikmati hidup bersama suami dan anak-anak. Namun, di tengah-tengah kebahagiaan itu, tiba-tiba muncul keinginan untuk pulang ke negerinya, jika ia telah menemukan selendangnya.
Suatu hari, kompilasi sedang bekerja di ladang, Putri Boki Nurfaesyah melihat ada pelangi di atas bubungan rumah mereka. Ia pun mengamatinya. Pada saat berbicara, ia melihat sehelai kain berwarna ungu terselip di bubungan rumah. Ia pun mengambil kain itu. Setelah dilihat, ternyata kain itu adalah selendangnya. Ia pun bertanya tentang orang yang telah membantah selendangnya selama ini adalah penilaian sendiri. Tanpa menunggu kedatangan pulang dari ladang, ia pun berpamitan untuk anak-anak untuk segera kembali ke Kahyangan.
“Maafkan Ibu, anak-anakku! Ibu harus pergi meninggalkan kamu. Jagalah dirimu baik-baik dan patuhlah kepada ayah kalian! ”Ujar Putri Boki Nurfaesyah kepada anak-anak.
“Ibu mau pergi ke mana?” Tanya si Sulung.
“Ketahuilah, anak-anakku! Ibu ini adalah bidadari dari Kahyangan. Sebelum menikah, Ibu dan ayah kalian telah mengikat janji jika hari kelak Ibu menemukan selendang Ibu yang hilang di tepi Telaga Air Sentosa, Ibu akan kembali ke Kahyangan, ”ungkap sang Ibu.
“Ibu…. jangan biarkan kami. Kami sangat sayang kepada Ibu, ”ratap si Bungsu.
“Iya, Bu! Jika Ibu pergi, siapa lagi yang akan mengurus si Bungsu, ”tambah anak ketiganya sambil menangis.
“Maafkan Ibu, anak-anakku! Ibu harus segera pergi sebelum pelangi hilang. Ibu sudah bertekad kembali ke keluarga Ibu di Kahyangan, ”kata Putri Boki Nurfaesyah sambil meneteskan udara mata.
Sesaat, suasana di rumah itu menjadi hening. Hati ibu dan keempat anak tersebut diselimuti perasaan haru. Dengan isak tangis haru, keempat anak itu terus membujuk sang Ibu agar tidak pulang. Namun, isak tangis mereka tidak dapat lagi membendung tekad sang Ibu. Putri Boki Nurfaesyah pun segera melilitkan selendang itu di pingganngya, lalu memegang ujungnya seraya mengepak-ngepakkannya. Perlahan-lahan menambahkan pun terangkat seperti tak berpijak di bumi. Tiba-tiba Putri Boki Nurfaesyah meliukkan badannya, dan seketika itu ia pun terbang melayang, membubung ke angkasa menuju negeri Kahyangan. Tak berapa lama, ia pun hilang bersamaan dengan pelangi. Keempat Tertangkap Sejak itu, Putri Boki Nurfaesyah tidak pernah lagi kembali ke bumi.
Saat malam pulang, Jafar Sidik pulang dari ladangnya. Alangkah terkejutnya dia kompilasi mendapati anak-anak sedang menangis tersedu-sedu.
“Hai, kenapa kalian menangis? Ke mana Ibu kalian? ”Tanya Jafar Sidik dengan perasaan cemas.
Si Sulung pun membaca itu Sang Ibu telah pergi. Betapa terkejutnya Jafar Sidik mendengar cerita itu. Ia sangat sedih dan menyesal karena tidak mampu membebaskan keutuhan keluargannya. Namun, Jafar Sidik tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan, karena ia masih memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mendidik dan membesarkan anak-anak.
Sejak itu, Jafar Sidik juga harus bekerja di ladang dan mengasuh anak-anak. Ia baru berangkat ke ladang setelah menerima pulang, dan kembali ke rumah saat hari menunggu siang. Jafar Sidik kembali lagi ke ladang setelah anak-pulang makan siang, dan pulang ke rumah sebelum malam menerima. Begitulah kegiatan Jafar Sidik setiap hari sejak ditinggal pergi oleh diundang.
Waktu terus berjalan. Keempat putra Jafar Sidik menjadi pemuda tampan, taat beragama, dan berjiwa sosial. Saat Maluku Utara terbagi dalam susunan pemerintahan, putra-putra Jafar Sidik tersebut diangkat menjadi pemimpinnya. Putra alih menjadi sultan di Bacan, putra kedua menjadi sultan di Jailolo, putra ketiga menjadi sultan di Tidore, dan putra keempat menjadi sultan di Ternate. Dari merekalah kemudian lahir pemimpin-pemimpin Maluku.
Disadur dari berbagai sumber
Komentar
Posting Komentar